Ketika anak tidak mau
menggunakan alat mendengarnya, ada tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu :
1. Kondisi klinis
telinga si anak,
2. Setingan alat
mendengarnya,
3. Masalah perilaku
(Behavior issue).
Oiya alat mendengar yang
saya bicarakan di sini universal ya, tidak spesifik satu jenis apapun. Karena
apapun jenis teknologi mendengarnya masalah yang dihadapi kurang lebih sama
saja kok.
1. Kondisi Klinis Telinga Anak.
Ini cukup penting untuk
diperhatikan orang tua dan sayangnya justru bagian ini juga yang luput dari
perhatian.
Kemungkinan anak menolak
menggunakan alat mendengarnya bisa saja karena dia tidak merasa nyaman. Untuk
pengguna alat bantu dengar (ABD) coba cek kondisi telinga tengahnya. Jika anak
dalam keadaan pilek kemungkinan besar ada cairan menumpuk di telinga tengahnya.
Ketika suara masuk, suara akan membal kembali ke luar. Selain si anak tidak
akan mendengar secara efektif, suara yang bergema tentunya akan membuatnya
terganggu. Ini sama seperti kita menggunakan earphones yang suaranya pecah/gema, tidak nyaman kan? Begitulah
kira-kira yang dirasa si anak.
Atau masalah lain yang
juga mungkin bisa terjadi pada pemakai ABD adalah kotoran telinga yang
mengeras. Ini sering terjadi karena telinga anak dalam kondisi tertutup
oleh earmold. Setiap kali
Shanaz membersihkan telingan, kotoran yang dihasilkan dari kedua telingan
terlihat sangat berbeda (telinga kanan Shanaz menggunakan ABD, sedangkan yang
kiri menggunakan Implan koklea).
Dan jika kira kotoran
yang mengeras, jangan kira tidak sakit kalau terkena ujung earmold ya. Bisa
jadi anak trauma karena ini, makanya dia menolak menggunakan alat mendengarnya.
Itulah kenapa membersihkan telinga anak secara rutin itu wajib ya. Jangan
dilakukan sendiri, harus buat janji ke dokter THT
 |
Gambar oleh Chatri A. |
Oh ya memastikan earmoldnya bersih itu juga penting lho.
Untuk anak yang mempunyai masalah alergi, memasukkan earmold kotor ke telinganya akan memperburuk kondisi alerginya. Saya
sendiri selalu membersihkan earmold
Shanaz dengan alcohol swap sebelum
dipakaikan ke telinganya (earmoldnya
aja ya, ngga usah ABD nya).
Earmold juga sebaiknya diganti
segera berkala maksimal enam bulan sekali. Tapi jika sebelum itu sudah dirasa tak nyaman, ngga
ada salahnya untuk segera cetak earmold
yang baru.
"Dok memangnya
liang telinga kita itu bisa bertumbuh besar ya? Kok earmold Shanaz tau-tau jadi ngga cukup ya?". Begitu pertanyaan
yang pernah saya lontarkan ke dr THT.
"Ngga bu, liang
telinganya sih ngga bisa bertumbuh, tapi karena ada si earmold ini makanya jadi lubangnya terus membesar. Kalau earmold dan lubang telinga sudah tidak
pas, nanti akan ada udara yang masuk. Nah suara akan menjadi feedback ke luar dan itu juga bisa
membuat anak tidak nyaman".
Untuk penggunaan earmold
yang baru biasanya akan sedikit keras, ini juga jangan langsung
dipakaikan begitu saja ke anak, bisa menyebabkan iritasi. Tipsnya bisa
menggunakan vaseline petroleumjelly atau vco ya (hindari mengunakan
minyak/losion yang mengundang wewangian).
Ini adalah informasi dasar tapi kadang suka
terlewat. Bagi para audiologist pliis
hal-hal kecil seperti ini jangan lupa diedukasikan ke orang tua ya, terutama
orang tua yang anaknya baru menggunakan ABD. Karena kalau sudah telanjur
iritasi lalu anak trauma sama ABD, urusannya bakal lebih repot lagi :(.
 |
Gambar oleh Chatri A. |
Sementara untuk pengguna
implan koklea kemungkinan terjadinya masalah klinis seperti diatas
persentasenya memang lebih kecil. Karena suara yang dihasilkan Implan koklea
tidak lagi menggunakan jalur suara masuk seperti skema pendengaran umumnya.
Masalah yang mungkin terjadi pada pemakai implan koklea biasanya karena
kekuatan magnet yang terletak pada koil terlalu kencang. Ini bisa menyebabkan
iritasi juga terutama jika anak memiliki kulit sensitif.
Solusinya bisa minta audiologist untuk menurunkan kekuatan
magnetnya. Jika sudah telanjur infeksi, stop pemakaian alat mendengar dan
segera bawa ke dokter agar diberi obat yang sesuai untuk ini.
2.
Setingan Alat mendengar.
Setelah area kondisi
klinis telinga anak aman, maka yang wajib jadi perhatiaan selanjutnya adalah
setingan alat. Tanyakan pada Audiologist bagaimana status setingan alat anak
kita. Jika dirasa anak belum nyaman, apakah memungkinkan untuk diturunkan dulu
sementara waktu? Tanyakan sampai batas mana bisa diturunkan dan kapan harus
kembali untuk menaikan lagi setinganya sesuai kebutuhan mendengar anak.
Ada kalanya orang tua
terkadang bingung ingin bertanya apa saat berkunjung ke hearing center, tentu akan
sangat membantu jika audiologist
mampu memberikan penjelasan sedetail mungkin dengan bahasa yang mudah
dimengerti oleh orang tua. Orang tua juga jangan malu untuk bertanya jika ada
yang membingungkan.
Bawa buku catatan kecil,
catat hal-hal penting disana. Minta juga audiologis
menyatat tentang kronologis kunjungan hari itu. Ini penting lho. Ada kala audiologst yang menangani anak kita
tidak lagi bekerja di hearing center
setempat dan siapapun yang menggantikannya, dia tetap bisa mengetahui kondisi
anak kita dari semua rekam jejak yang ada di catatan buku tersebut.
3.
Masalah Perilaku (Behavior Issue)
Jika kita bicara
perilaku, ini kerap hubungannya dengan pola asuh. Ada sih beberapa faktor
perilaku anak disebabkan oleh masalah sensori, tapi mari di sini kita sepakati
bersama yang pertama harus kita cek pola asuh dulu ya (karena menyalahkan
“sensori” itu jauh lebih gampang dilakukan daripada menyalahkan pola asuh,
betul ngga?).
Katakanlah di sini
kondisi klinis anak sudah aman, setingan sudah ok, tapi anak tetap tidak mau
memakai alat mendengarnya. Kira-kira kenapa ya?. Jika ini terjadi di awal masa
mendengar, kemungkinan besar karena dia belum terbiasa saja.
Anak ini terlahir tidak
mendengar, sekian tahun dia dalam kesunyian, tiba-tiba diberi suara, tentu ini
adalah sebuah perubahan besar bagi anak. Yang namanya perubahan, di fase awal selalu hal yang tidak mudah bahkan
untuk kita orangdewasa sekalipun. Butuh sedikit ‘paksaan’ sampai kemudian hal
tersebut menjadi hal yang biasa saja.
Siapa awalnya yang
nyaman dengan virtual meeting atau sekolah online? Ngga ada. Tapi lihat kita
sekarang? Ternyata kita baik-baik saja melakukan semua secara tele kan? Prinsip
yang sama dengan anak yang baru mulai mendengar.
 |
Shanaz diberi dummy ABD sebagi support dari audiologisnya |
Waktu Shanaz memulai
perjalanan mendengarnya umurnya saat itu 20 bulan. Setiap kali saya pakaikan
ABD ke dia, selalu dia tepis telinganya. Lalu apa yang saya lakukan? Saya
buru-buru mengendong dia dengan gendongan kangguru. Saya dekap dia, tanganya
saya masukan ke sela-sela gendongan lalu saya bawa jalan-jalan keluar rumah.
Sambil jalan-jalan saya ceritakan semua suara yang dia dengar di luar.
“ waah ada motor ya. Iya
bener itu suara motor yang shanaz dengar. Kencang ya suaranya”.
“Itu suara ayam Shanaz
yang lagi berkokok. Shanaz kaget ya. Sama bunda juga kaget”
Saya bahasakan suara
yang kami dengar sambil menunjukkan ke telinga suapaya dia paham suara yang dia
dengar itu berasal dari alat yang ada di telinganya.
 |
Shanaz di masa pertama dia mendengar. alat on, lansung sigap diajak jalan-jalan ke luar |
Kenapa saya memilih
menggendongnya dengan gendongan kanguru? Karena dekapan ibu adalah tempat
ternyaman anak. Saya mau dia merasa aman. Mungkin suara yang dia dengar terasa aneh di awal, tapi Shanaz harus tau semua akan baik-baik saja karena
bunda menemani dia di sini.
Namun tentu ini tidak
bisa diaplikasikan ke anak yang umurnya sudah jauh lebih besar. Katakanlah
untuk anak berumur 4 tahun. Dengan fisiknya yang sudah cukup besar tidak
mungkin rasanya mengendong dia pakai gendongan kangguru. Anaknya juga bakal meronta
pasti lah.
Mungkin (ini mungkin
lho, saya juga ngga tahu karena saya kan tidak mengalaminya) bisa dengan cara
memeluk dia dari belakang, lalu orang lain (ayahnya atau siapa pun yang ada di
rumah saat itu) bisa membantu memasangkan alat mendengar di telinganya. Lakukan
hal apapun yang bisa memberikan rasa nyaman pada anak pada saat itu, misal
mengelus punggungnya,membelai rambutnya, apa pun lah. Jika muslim, bisa
tambahkan dengan menyalakan murrotal untuk membantu anak merasa tenang. Intinya
kita memang sedang ‘memaksa’ tapi anak jangan sampai merasa tersiksa dengan
paksaan tersebut (kalau perlu buat sampai dia bahkan tidak menyadari kalau saat
itu sedang dalam paksaan).
Menurut pendapat saya
melakukan kekerasan saat menyuruh anak menggunakan alat mendengarnya tidak akan
pernah efektif. Meski katanya itu dilakukan demi cinta, tetap saja saya ngga
yakin itu hal yang tepat. Yang ada hanya akan membuat anak semakin trauma.
 |
sumber gambar : www.freepik.com |
Ketika orang tua sedang
ngamuk atau memaksa memasangkan alat mendengar pada anak (bahkan ada yang sampai mengikat
tangan anak) itu membutuhkan energi yang besar. Dan jelas kita tidak mungkin mampu
melakukan itu setiap hari. Ada gitu orang yang ngamuk parah setiap saat?
Ngomel-ngomel kecil bisa jadi sering, tapi ngamuk besar itu kan beda lagi
ceritanya.
Anak menolak tidak mau
pakai alat 10 kali, 1 kali kita sebagai orang tua luar biasa meledak saat itu,
9 kalinya paling cuma tarik nafas panjang dan ngedumel. Lalu kemudian kita
mengeluh, “aku udah melakukan segala cara lho, sampai ikat tangan dia di kursi
tapi tetap anaknya ngga mau pakai alat mendengarnya”.
Yaaa ngga mau lah, wong
cuma dilakukan sekali doang mana mempan. Kalau mau berhasil, ngamuknya
konsisten. Tiap anak ngga mau pakai alat mendengar langsung keluar taring dan
tanduk di kepala. Langsung siapkan ‘kursi penyiksaan’ untuk anak. Pertanyaannya,
kitanya cukup punya energi ngga untuk itu?.
Kalau energi yang kita
punya ngga banyak, maka ubah metodenya. Tidak perlu sampai marah yang bikin
anak tertekan tapi tunjukan perubahan sikap yang cukup eksplisit. Contoh ni,
ketika dia membuka alatnya tunjukan muka cemberut ke anak, jangan respon apapun
yang dia mau. Dia ngajak main, cuekin. Bahkan dia minta makan pun, bergeming
saja. Berikan gesture atau bahasa tubuh tunjuk ke arah telinga, “mau makan?
Pakai alat mendengar dulu”. Kalau dia ngga mau, ya udah jangan beri apapun yang
dia mau.
 |
sumber gambar :www.freepic.com
|
Nangis? Ya gpp.
Guling-guling pun juga ngga perlu direspon. Jangan terkecoh dengan tangisan
anak. Tunjukan bahwa sebagai orang tua kita lah yang berkuasa di sini.
Prinsipnya nih 10 kali dia menolak menggunakan alat mendengarnya, akan kita
tawarkan 11 kali. Percaya deh, nanti dia yang akan mengalah memakai alat
mendengarnya. Dan ketika hal itu terjadi,
disitulah waktunya orang tua memberikan apresiasi terbaik untuk anak ya.
“ hebaat.. kamu pakai
alat mendengar. Betuul. Waaah anak mama memang paling keren kalau sudah pakai
alat mendengar seperti ini”.
Jangan terbaliknya.
Ketika anak udah melakukan yang diinginkan orang tua, eh orang tua masih aja
menyindir.
“dibilang juga apa, alat
mendengar itu ya dipakai. Dikata itu barang murah apa. Mama melakukan ini juga
kan untuk kamu, tong”. Diih si mama ngga move on -___-.
Tapi sekali lagi,
pastikan 2 faktor sebelumnya (kondisi klinis telinga dan setingan alat) sudah
ok ya. karena kalau masih ada kendala di dua hal tersebut, mau adu kuat-kuatan
sama anak juga percuma. Jangan sepelakan
kemampuan anak lho, mereka mampu menganalisa keadaan. Mereka selalu tahu dimana
letak kelemahannya kita sebagai orang tua.
Saat awal Shanaz
mendengar dan dia tahu dia tidak punya kesempatan untuk melepas alatnya (karena
langsung dikekep pakai gendongan kangguru), tapi kemudian dia menemukan 1
kondisi di mana bundanya ngga bisa berkutik, yaitu saat menyetir.
Saat saya menyetir fokus
utama saya tentu pada jalanan, bukan lainnya. Shanaz yang duduk di belakang
saya tahu persis bundanya tidak bisa melakukan apa-apa saat itu. Di situ lah
kesempatan dia membuang alat mendengarnya. Makna harfiah lho ini. Benar-benar
dilempar aja gitu. Tau-tau saat mobil menepi, alat mendengar Shanaz udah
nyungsep entah dimana. Saya bahkan saat itu sampai stok beberapa earmold, karena bagian ini yang paling
sulit dicari (orang tua yang anaknya pakai ABD, tentu paham ini. Earmold itu bentuknya kecil, transaparan
pula, beneran rungsing deh kalau udah
nyari benda satu ini).
Trus apakah kemudian
kita harus kalah? Tentu tidak. Anak boleh pintar, tapi orang tua lebih lama
hidup di dunia ini. Dari saran seorang pembicara di seminar yang saya ikuti,
dia menyarankan saya menggunakan pelampung tangan saat sedang berkendara berdua
Shanaz saja. Aha, Good Idea.
Shanaz gimana? pasrah
aja dipakaikan pelampung tangan? HAHAHA, YA KALI. Nangis lah. Nangis kejer malah.
Ya udah sih, kenapa pada takut amat sama anak nangis, yang keluar juga paling
air mata ini. Dan yang penting saat Shanaz nangis sudah dipastikan dia aman di
atas carseat dan sabuk pengaman
terpasang dengan baik, jadi silakan aja nangis sekencangnya ya. Entar juga
kalau capek diam sendiri. Yaaa kalau kemudian efeknya telinga emaknya agak pengeng sedikit, yaaa terima aja lah.
Anggap aja resiko pekerjaan :D.

Tapi setelah itu Shanaz
jadi paham. Dia tahu kalau alat mendengarnya tidak boleh dibuang saat bundanya
lagi menyetir. Dia tahu konsekuensi tidak nyamannya pakai pelampung tangan di carseat. Pernah suatu kali dia pikir
saya lupa, lalu tiba-tiba Shanaz mulai lempar alat mendengarnya lagi. Langsung
saja saat itu juga, saya menepi ke pinggir jalan, lalu kemudian pasang
pelampung tangannya lagi.
“Karena Shanaz buang
alatnya lagi, bunda pakaikan pelampungnya ya. Nanti akan bunda buka kalau kamu
tidak buang alat mendengarnya lagi”.
Ingat prinsipnya, 10 kali anak menolak, 11
kali kita pasangkan kembali. Kuncinya adalah konsisten. Dan ini sebenarnya
berlaku dalam mendidik anak secara general sih.
Biasakan untuk selalu
membahasakan apapun yang sedang kita lakukan. Meski saat itu anak belum
berbahasa verbal, tapi dengan menarasikan semua kegiatan yang kita lakukan
untuk dia itu membantu memberikan rasa aman dan juga rasa percaya anak terhadap
orang tuanya sendiri.
Hal lain yang juga harus
diperhatikan, di awal anak beradaptasi dengan alat mendengarnya hindari
tempat-tempat yang mempunyai suara terlalu kencang, seperti bioskop atau tempat
yang ada live musik. Jangan buat anak
takut mendengar. Justru tugas kita adalah memastikan dia nyaman sehingga
menjadikan alat mendengar itu bagian dari dirinya.
Kebutuhan mendengar
adalah kebutuhan luhur yang harus dimiliki semua orang. Ketika seseorang
kehilangan kemampuan mendengarnya itu artinya kemampuan dia menerima informasi
juga berkurang sampai 80%. Makanya pada tahap ini sangat penting untuk kita
memastikan anak berada dalam keadaan paling prima. Kalau ini sudah terbentuk
dengan baik, jika nantinya ada gangguan penyerta lain yang muncul, setidaknya mendengar
bisa jadi kekuatan terbesar anak dan itu akan benar-benar sangat membantu lho.
Jangan patah semangat
ya, pasti ada aja kok solusi dan trik supaya anak betah menggunakan alat
mendengarnya. Saling berdiskusi dan bertukar pikiran dengan sesama orang tua
juga bisa memberi amunisi tersendiri.