Pertanyaan yang selalu muncul setelah Shanaz menggunakan
alat bantu dengarnya adalah “sudah bisa ngomong apa?”. Pertanyaan ini tidak
hanya muncul oleh orang-orang yang awam terhadap masalah gangguan pendengaran
pada anak, tapi juga sering ditanyakan oleh orangtua yang anaknya memiliki
gangguan pendengaran yang sama kayak Shanaz.
Tulisan ini saya tulis bukan karena saya marah ditanyain
terus, percaya lah saya anggap pertanyaan-pertanyaan itu adalah doa dan
dukungan dari teman-teman semua dan saya hargai itu. Tapi tujuan saya menulis
ini justru untuk para orangtua yang memiliki gangguan pendengaran juga sama
seperti Shanaz.
Saya sangat paham sebagai orangtua kita selalu berharap anak
kita mengalami perkembangan yang sesuai harapan kita. Sangat besar harapan kita
ketika anak sudah menggunakan alat bantu dengar atau bahkan implant koklea agar
si anak bisa mendengar seperti anak-anak lainnya. Itu lah kenapa pertanyaan itu
muncul sekedar memastikan harapan itu tetap ada.
Memakai alat bantu dengar ini tentu tidak sama dengan
memakai kacamata. Meski sama-sama membantu kekurangan yang terjadi pada indera manusia,
tapi untuk fungsi pendengaran yang benar-benar bertugas untuk
mendengar bukan lah telinga tapi saraf pendengaran. Dan yang namanya sudah
berhubungan dengan saraf, tentu mau tidak mau harus distimulasi agar
mendapatkan hasil maksimal. Setelah
berbulan atau bahkan bertahun si anak tidak dapat mengakses suara lalu
tiba-tiba kita berikan alat bantu dengarnya dan berharap dia langsung
berbicara? Jelas bukan begitu prosesnya. Untuk anak-anak seperti shanaz, selain umur biologis, yang
harus diperhatikan adalah umur pendengarannya.
Apa itu umur pendengaran? Umur
pendengaran adalah umur yang dihitung setelah si anak menggunakan alat bantu
dengar yang sesuai dengan tingkat gangguannya.
Shanaz sendiri baru
menggunakan alat bantu dengar di bulan desember 2016, itu artinya umur pendengaran
Shanaz baru 7 bulan. Lalu apakah kita berharap anak bayi 7 bulan akan bisa
langsung berbicara? Tentu tidak. Dia harus mendengar lebih banyak dan lebih
sering lagi baru dia bisa mengeluarkan suaranya. Apalagi untuk kasus shanaz
yang baru memakai alat bantu dengarnya di umur 19 bulan, itu artinya shanaz
harus lebih dipacu proses mendengarnya untuk mengejar keterlambatannya selama 19 bulan sebelum itu saat dia masih berada dalam kesunyian.
Buat yang baru membaca tulisan saya, saya kenalkan lagi,
anak ketiga saya bernama Shanaz Katilu. Sekarang umurnya adalah 2 tahun 3
bulan. Dia menggunakan alat bantu dengarnya sejak umur 19 bulan (sebenarnya dia
ketahuan memiliki gangguan pendengaran di umurnya 18 bulan, lalu kemudian
proses mencari dan membeli alat maka baru benar-benar memakai alat di umur 19
bulan). saya pernah cerita tentang ini di blogpost sebelumnya.
Gangguan pendengaran Shanaz adalah kanan 85 db dan kiri 80 db. ini pun
sebenarnya belum benar-benar valid. Dan ini adalah hasil dari ASSR kedua yang saya
lakukan setelah dia meggunakan alat bantu dengarnya selama 6 bulan (sebelumnya
status Shanaz itu kanan 85 db & kiri >110 db). Menurut dokternya ada sedikit masalah pada
telinga bagian tengah, tapi ini pun masih dalam tahap observasi dan
pengobatan. Nanti lain kali akan saya ceritakan detailnya di blogpost kalau
sudah dapat diagnosa akhirnya ya.
![]() |
Saat shanaz pertama kali melakukan tes BERA |
Lalu apakah shanaz sudah mengeluarkan kata-kata? Sudah. Dia
sudah bisa bilang toktoktok, dodo untuk duduk, namnamnam untuk makan atau
nyamnyamnyam dan yang paling sering disebut adalah do alias no. sebenarnya
saya mengajarkannya ‘tidak’, tp dia kesulitan menyebut kata ‘tidak’ jadi yang
tersebut adalah do dan bersama terapisnya kita sepakati do itu adalah no.
Selain itu ada
beberapa kata lainnya juga yang secara spontan pernah diucapkan oleh shanaz. Yang terbaru dia bisa mengucapkan
awah untuk pesawat. Tapi kosakata Shanaz belum lah konsisten. Kadang muncul
tapi kadang hilang lagi. Masih harus sangat sangat sangat dilatih lagi.
Dalam ilmu AVT kata-kata yang sudah bisa diucapkan ini
disebut bahasa ekspresif. Dan ini adalah hal yang paling jadi target semua orangtua
(termasuk saya). Tapi sebenarnya selain ini, yang tidak kalah penting adalah apa
yang disebut bahasa reseptif, yaitu bahasa yang belum bisa diucapkan tapi si
anak paham maksudnya. Contohnya shanaz belum bisa menyebutkan sandal tapi dia
paham ketika saya memberikan intruksi mengambil sandal tanpa ada gesture atau melihat gerak bibir.
Dan ini yang selalu diabaikan oleh orangtua yang memiliki
anak Tuli atau tuna rungu atau apa pun lah istilahnya sekarang. Mereka sering
mengeluh anak-anaknya belum mengeluarkan satu kata pun katanya, tapi mereka
tidak memperhatikan terhadap kemampuan reseptif si anak. Bisa jadi si anak
punya bahasa reseptif yang cukup banyak.
Meski tujuan utama kita adalah menyelamatkan verbalnya, tapi
jangan lupa yang harus pertama sekali kita fokuskan itu mendengarnya. Apakah si
anak sudah sadar bunyi, identifikasi bunyi, baru kemudian dia mampu imitasi
bunyi. Tidak perlu berkecil hati jika si
anak sampai sekarang belum mengeluarkan satu kata pun, mungkin dia sedang
menyimpan memori mendengarnya sebanyak mungkin. Nanti jika penuh pasti akan
keluar dengan sendirinya.
Tentu yang harus digarisbawahi yaitu memang benar hasil
tidak akan mengkhianati usaha, tapi tanpa usaha maka jangan harap akan
membuahkan hasil. Bagaimana mungkin kita bisa berharap memori mendengar si anak
bisa penuh, jika dia bahkan tidak banyak mendengar kata-kata.
Dan suara terbaik adalah suara yang didengar dilangsung dari sumbernya, bukan suara digital baik itu dari tv, laptop atau pun youtube. Bukan bermaksud untuk sama sekali melarang, realistis saja, melepaskan gadget pada anak di dunia milenial ini tentu lah tidak mudah. Saya pun kadang-kadang memberikan shanaz tontonan juga. Tapi tak jarang saya suka mematikan suara tv atau gadget tersebut, lalu saya ceritakan kembali dengan bahasa dan suara saya sendiri. Mirip seperti sedang membaca buku tapi medianya berbeda.
Dan ngomong-ngomong soal baca buku, kata terapis Shanaz idealnya kita membacakan buku pada anak itu sekitar 10 buku sehari lho. Mari hela nafas panjang berjamaah buibu. hihihihi
Dan suara terbaik adalah suara yang didengar dilangsung dari sumbernya, bukan suara digital baik itu dari tv, laptop atau pun youtube. Bukan bermaksud untuk sama sekali melarang, realistis saja, melepaskan gadget pada anak di dunia milenial ini tentu lah tidak mudah. Saya pun kadang-kadang memberikan shanaz tontonan juga. Tapi tak jarang saya suka mematikan suara tv atau gadget tersebut, lalu saya ceritakan kembali dengan bahasa dan suara saya sendiri. Mirip seperti sedang membaca buku tapi medianya berbeda.
Dan ngomong-ngomong soal baca buku, kata terapis Shanaz idealnya kita membacakan buku pada anak itu sekitar 10 buku sehari lho. Mari hela nafas panjang berjamaah buibu. hihihihi
Jadi intinya adalah kita tidak boleh patah semangat. Kalau lagi capek,
bosan, silahkan isi amunisi dulu. Istirahat sejenak. Ngumpul sama teman-teman,
jalan-jalan, atau bahkan makan micin pun sebenarnya adalah piknik tersendiri
buat emak-emak seperti kita ini, ya kan? Dan yang paling penting dari itu
semua adalah jangan baper liat perkembangan anak orang lain. Fokus terhadap
masing-masing dari anak kita saja. Insya Allah jika usaha sudah semaksimal mungkin pasti akan
ada hasil yang terbaik juga. Ganbatte semua..
Mamah mertua saya menggunakan alat bantu pendengaran. Tapi saya gak tau sejak kapan. Karena sejak saya menikah dengan suami sekian belas tahun lalu, mamah mertua sudah menggunakan alat ini. Memang harus banyak sabar. Semoga yang terbaik untuk Shanaz, ya :)
ReplyDelete