Ini adalah bulan ke-9 saya dan
Shanaz melakukan perjalanan terapi per 2 minggu sekali. Bukan perjalanan yang
jauh memang, hanya pku-ckg-pku lagi. Jarak tempuhnya juga hanya 1 jam 55 menit
(kalau tidak delayed). Tapi tentu perjalanan ini menjadi suatu hal yang berbeda dibandingkan dengan perjalanan lainnya, seperti perjalanan liburan atau pun pulang kampung.
Perjalanan ini
tidak hanya memberikan progress untuk Shanaz, tetapi juga memberikan dampak tersendiri untuk saya. Karena pada akhirnya ini bukan lagi hanya sebagai
therapy trip, tapi juga sebagai proses saya menjadi lebih
baik.
saya sadari perjalanan ini pasti akan jadi perjalanan yang sangat panjang. Akan banyak hal yang mungkin terjadi. Baik, buruk tidak ada yang bisa benar-benar menolaknya. Hanya tinggal bagaimana sudut pandang ini melihatnya. Memilih untuk menikmati tiap langkahnya dan menjadikan itu sebagai suatu pelajaran berharga atau terus mengeluh mengapa harus saya yang dipilih menghadapi hidup seperti ini.
saya sadari perjalanan ini pasti akan jadi perjalanan yang sangat panjang. Akan banyak hal yang mungkin terjadi. Baik, buruk tidak ada yang bisa benar-benar menolaknya. Hanya tinggal bagaimana sudut pandang ini melihatnya. Memilih untuk menikmati tiap langkahnya dan menjadikan itu sebagai suatu pelajaran berharga atau terus mengeluh mengapa harus saya yang dipilih menghadapi hidup seperti ini.
Semuanya bermula dari Shanaz
divonis Tuli sensorial derajat sangat berat 11 bulan yang lalu dan disaat
bersamaan ketika menemui dokter tumbuh kembangnya untuk mengatahui kira-kira
terapi apa yang tepat untuk Shanaz, lalu dokter tersebut mengatakanya seperti
ini :
“ bu, setelah memakai alat bantu
dengarnya anak ibu butuh terapi namanya audio verbal terapi atau biasa
disingkat dengan AVT, tapi disini (pekanbaru maksudnya) belum ada terapi itu,
jadi ibu harus upayakan sendiri. Bisa dilakukan mandiri di rumah tapi tentu
setidaknya ibu harus punya dasar tentang itu”.
Saya terdiam ketika mendengar
kata-kata si dokter tersebut. Berusaha mencerna dan sambil memikir solusi
terbaik seperti apa.
Banyak yang menyarankan untuk
kami kembali lagi ke Jakarta, setidaknya saya dan anak-anaknya di Jakarta dan
ayahnya di Pekanbaru. Fyi, saat itu kita baru saja setahun hijrah ke pekanbaru
dari Jakarta. Bisa dibilang kita baru saja ‘bernafas’ dari repotnya pindahan
dari Jakarta kemarin. Pindahan antar pulau tidak lah semudah yang dibayangkan
orang-orang. Jika saja Shanaz
satu-satunya anak saya tentu saya tidak akan pikir panjang untuk mengambil
keputusan itu. Tapi ada 2 kakak shanaz yang harus dipikirkan juga
Pertimbangan pertama, dari segi sekolah, saat itu
kaka shanaz pertama, Indira sudah masuk SD dengan biaya masuk yang tidak bisa
dibilang murah. Kalau kita pindah lagi ke Jakarta artinya kita harus menyiapkan
uang masuk yang bahkan 2 x lipat kita keluarkan disini.
Lebih dari sekedar itu adalah
psikologis kaka-kakanya yang baru saja move on dari Jakarta dan mulai menikmati
pekanbaru, eeeh masak kemudian disuruh pindah lagi. Hanya karena mereka tidak
memiliki kebutuhan khusus, bukan berarti kebutuhan mereka sama sekali tidak
dipikirkan.
Kedua kakak Shanaz bukannya tidak
mengambil andil apa-apa untuk adiknya. Sudah, mereka sudah melakukan banyak
sekali penyesuaian untuk memprioritaskan kebutuhan shanaz. Dan saya tidak tega
meminta lebih dari itu lagi. ada beberapa perjalanan yang kami janjikan
terpaksa ditunda demi membeli alat bantu dengar shanaz, ada waktu akhir pekan yang
harus mereka lewati tanpa bundanya karena bunda sedang di Jakarta. Dan yang
terbesar adalah ada perhatian dan pikiran bundanya yang terpaksa mereka relakan
karena tersedot hampir seluruhnya hanya untuk Shanaz.
Mereka sudah melakukan sesuai
porsinya. Bahkan lebih. Dan saya bersyukur Allah menitipkan kaka-kaka hebat untuk Shanaz. Saya berjanji saya tidak akan meminta lebih banyak dari itu
lagi. karena seperti yang sudah disebut di atas, hanya karena mereka tidak
memiliki kebutuhan khusus, bukan berarti mereka boleh diabaikan.
Kembali ke therapy trip tadi,
singkat cerita setelah dokter tumbuh kembang mengatakan hal seperti itu, saya
mulai mencari tahu tentang AVT di mesin pencari. Beruntung kita hidup di dunia
milenial yang hanya tinggal mengetik kata kunci maka semua yang kita butuhkan
muncul. Disana lah saya akhirnya bertemu Yayasan Rumah siput, tempat shanaz
terapi AVT.
Qadarullah saat itu mereka akan
melakukan seminar di Pekanbaru. Langsung saja saya daftarkan diri dan disitu
lah pertama kali saya mengenal apa itu AVT.
Ada beberapa alasan kenapa
akhirnya saya memilih melakukan therapy
trip. Padahal sebenarnya mereka juga menawarkan home visit lho. Dan sebelumnya saya juga sudah mencoba home visit ini. Tapi home visit ini menjadi tidak efesien ketika
hanya shanaz sebagai satu-satunya pasien yang akan diterapi, selain harganya
jadi lebih mahal, tempat dilakukan terapi juga tidak terlalu terkondisikan
dengan baik sehingga proses terapi juga jadi kurang optimal.
Ketika melakukan perjalanan terapi ini saya
berusaha sehemat mungkin menghabiskan durasi di Jakarta. Tidak jarang bahkan
kurang dari 24 jam. Kamis sore berangkat, jumat pagi terapi, jumat siang sudah
kembali ke Pekanbaru lagi. kecuali ada hal-hal yang harus dilakukan, misalnya
kontrol ke dokter dan lain sebagainya.
Kalau ditanya apa tidak capek ya?
awalnya capek. Banget malah. Tiap selesai perjalanan, kepala saya pusing dan
badan super pegal. Lambat laun badan mulai beradapstasi dan sekarang semuanya
jadi biasa saja. Benar seperti kata ibu dion (salah satu teman saya yang
sama-sama memiliki anak dengan gangguan pendengaran juga), “we never know how strong we are, until that only choose we have”.
Dan lagi saya lebih memilih capek dibayar dimuka, tapi Insya Allah hasilnya
akan baik daripada saya kalem-kalem saja, argo kehidupan berjalan terus, tau-tau
shanaz sudah sangat besar dan sudah terlambat untuk menyelamatkan verbalnya.
Toh sejatinya hidup ini adalah
perjalanan. Hanya tinggal bagaimana kita berani membuka pintu dan melangkah
jauh keluar atau berdiri di tempat dengan segala ketakutan dan kecemasan yang
sebenarnya hanya ada di dalam kepala kita saja.
“aaah shanaz mah enak terapinya gratis, ditanggung kantor. Mau kemana juga gak usah mikir.”
Pernah tidak berpikir apa yang
terlihat ‘enak’ itu adalah hasil yang terlihat saja. Sedangkan proses di dapur
saat pencampuran bumbu dan lain sebagainya tidak lah benar-benar diketahui
orang banyak.
Saat pertama kali kita memutuskan untuk
melakukan perjalanan terapi ini, percaya lah satu-satu modal yang kita punya
hanya nekat. Bismillah saja, pakai kalkulator Allah, Insya Allah rejeki Allah
yang atur. Allah yang memberi rejeki, maka Allah juga yang akan mencukupkan
sesuai kebutuhan. Karena saya sangat percaya ketika berpikir positif kepada
Allah, maka hasilnya pun akan sama positifnya. Dan terbukti Alhamdulillah rejeki
Shanaz untuk urusan ikhtiar dan
lain-lain semuanya dimudahkan.
Jadi sekali lagi kuncinya memang lah apakah kita berani membuka pintu lalu melangkah atau tidak. Karena hidup memang tidak selalu menawarkan nyamannya sofa, serial tv terbaru dan cemilan micin, terkadang kita harus berani mengangkat b*k*ng kita dan keluar melewati batu kerikil dan tanah becek agar memahami apa arti hidup itu sebenarnya. Dan kalian akan tekejut apa yang sudah Allah siapkan ketika berani melangkahkan kaki keluar. Percaya lah.
Semoga proses terapi shanaz yang antar pulau lancar n hasil bisa maksimal ya mba
ReplyDeleteSemoga proses terapi shanaz yang antar pulau lancar n hasil bisa maksimal ya mba
ReplyDeleteMbak dhita hebat! Luar bisa..saya akan selalu meniru semangatmu dengan cara saya Mbak..
ReplyDeleteYa Allah Mbak, saya malu, masih banyak ngeluh. Sementara di luae sana termauk Mbak sungguh sangat tangguh
ReplyDeleteMbaaaa, aku terharu banget baca therapy trip tulisanmu ini. Semoga mba, Shanaz, dan keluarga selalu dikuatkan, ya.. Semoga proses terapinya juga lancar terus.. :)
ReplyDeletetetap semangat kak
ReplyDelete