Sebelum memulai saya ingin menggaris bawahi dulu bahwasanya tulisan ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan tokoh perempuan yang berapa tahun belakang terus didebatkan orang banyak ( dan disaat bersamaan ini juga menjadi tanda tanya besar ke saya : “whats wrong with all of you ladies? Kenapa sih demen amat segala diperdebatkan?”).
.
.
Sebenarnya saya bukanlah tipe orang yang terlalu peduli
dengan pendapat orang lain. Terutama jika pendapat mereka tidak bisa membayar
tagihan saya.
Saya sadar takdir hidup saya penuh anomali dan itu jadi sasaran
empuk buat orang lain memberi komentar. Makanya saya sudah biasa mendengar
komentar macam-macam tentang ini dan itu.
Tapi ada satu komentar yang sebenarnya cukup mengusik saya.
Dan ini diucapkan nyaris sama tetapi oleh beberapa orang berbeda. Seolah-olah ini adalah pendapat
umum yang wajar saja.
Dari awal orang-orang mulai tahu anak-anak saya melakukan
sekolah rumah, segala macam reaksi dan pertanyaan berdatangan.
“anak-anaknya homeschooling di mana mba”?
“bayar berapa homeschooling nya?”
Dan lain sebagainya.
Biasanya saya jawab seadanya. Karena rata-rata yang bertanya
hanya sekedar kepo bin penasaran saja. Nah lucunya dari semua pertanyaan
diatas 4 dari 10 yang bertanya selalu menutup dengan pernyataan yang mereka
simpulkan sendiri, yaitu :
“ untung anak-anaknya cewe ya mba. Jadi ga pa pa ga sekolah
juga. Paling bentar lagi kawin, punya anak, udah beres”
Qadarullah anak saya memang perempuan semua, tapi jika anak
saya laki-laki saya juga akan
memperlakukan hal yang sama kok. Come on emangnya kita hidup di jaman apa sih
ini sekarang? Kok gender dibawa-bawa.
Menikah dan punya anak adalah prestasi besar, bukan hanya
sekedar “udah beres” doang. Sebelum mereka sampai ke tahap itu saya pastikan
mereka memang sudah benar-benar qualified melakukannya.
Takdir anak perempuan memang Insya Allah menjadi ibu. Ibu berkualitas lebih tepatnya. Bukan cuma sekedar makhluk hidup yang punya kantong rahim dan
tugasnya melahirkan doang.
Berkerja di rumah atau di luar rumah itu adalah sepenuhnya
keputusan mereka nanti. Tapi satu yang pasti mereka harus berkarya.
Berkarya dan berilmu sih lebih tepatnya. Karena sesuatu yang
dikerjakan tanpa ilmu adalah perbuatan yang sia-sia.
Dan saya dan suami berkeyakinan bahwa semua itu tidak harus
didapat dari sekolah kok. Karena ilmu yang sebenarnya justru ada di luar
sana. Tidak dibatasi oleh tembok dan atap.
Saya bukannya anti sekolah tapi saya hanya ingin
mengkerucutkan ilmu yang didapat anak saya benar-benar sesuai dengan potensi
yang mereka miliki.
karena saya merasa saya adalah contoh produk sekolah yang gagal. Bagaimana tidak saya habiskan 12 tahun
bersekolah dan 4 tahun berkuliah dan kemudian saya baru menyadari bahwa selama
ini saya mempelajari sesuatu yang bukanlah bakat saya.
Saya sudah senang menulis sejak SD. Saya ingat sekali selalu
senang jika diberi PR mengarang oleh guru Bahasa Indonesia saya saat itu.
Dan ketika besoknya saya bacakan karangan saya didepan kelas, guru saya justru berkomentar “ ini kamu nyontek dari majalah bobo ya? Ga mungkin anak sekecil kamu bisa menulis karangan seperti ini”.
Dan ketika besoknya saya bacakan karangan saya didepan kelas, guru saya justru berkomentar “ ini kamu nyontek dari majalah bobo ya? Ga mungkin anak sekecil kamu bisa menulis karangan seperti ini”.
Dan sejak itu saya semakin jauh dengan potensi saya. Bertahun-tahun menghabiskan hari dengan belajar yang bahkan tidak memberikan bekal apa-apa untuk saya sampai saat ini.
Itu lah yang menjadi salah satu alasan kami selaku orangtua memutuskan memilih
sekolah rumah untuk anak-anak kami. Karena kami tidak ingin potensi mereka
terbuang percuma seperti kami dulu.
Dan itu jelas bukan karena mereka perempuan..
Perempuan atau bukan semua anak berhak di-maksimalkan
potensinya. Selama tidak keluar dari kodratnya, tidak melenceng dari aturan
Alquran dan hukum negara Insya Allah apapun potensi mereka akan kami fasilitasi
dengan baik semampu kami bisa.
Justru sebenarnya perempuan lah yang paling harus diberi ilmu sebanyak-banyaknya. Karena dari mereka lah sebuah kehidupan bermula.
Mungkin ini diluar konteks tapi sudah cukup paradigma the power of mak-mak yang makin kesini makin negatif. Hanya karena dia seorang mamak maka dia pikir dia boleh seenaknya menyelak antrian, menyerang petugas, menyalakan lampu sein ke kanan belok ke kiri.
Saatnya ambil alih panggung. saatnya tunjukkan kekuatan seorang perempuan yang sebenarnya.
Seorang perempuan yang mempunyai bakat dan potensial sehingga mampu menaklukan dunia.
Seorang perempuan yang mempunyai bakat dan potensial sehingga mampu menaklukan dunia.
![]() |
*take a bow*
|
No comments:
Post a Comment