Saya disini tidak akan menulis tentang agama atau politik, karena saya merasa tidak berkompeten dengan dua hal itu. Saya bukan lah ahli politik, pun bukan ahli agama. Saya seorang ibu dengan 3 anak perempuan yang insya Allah kelak mereka jug akan jadi ibu. Jadi yaah saya akan berbicara sebagai ibu, posisi yang paling mulia d mata Allah.
Sebelum 4 november kemarin saya sering melihat beberapa teman saya yang sepertinya tidak setuju dengan aksi ini. Saya lebih suka menyebut mereka barisan tak suka daripada nyinyi-ers. Positif thinking saja, saya percaya mereka punya alasan kuat tentang itu, ngga mungkin teman-teman saya yang pintar itu cuma sekedar ikut-ikutan atau sekedar ingin dibilang modern dan toleransi beragamanya tinggi. Aah mereka tidak sepicik itu pasti.
Sebagai seorang muslim, saya akui masih banyak sekali kekurangannya. Shalat saya masih suka tidak tepat waktu, padahal kalau janjian sama orang lain saya selalu berusaha tepat waktu. Hafalan surat pendek saya masih itu-itu aja, ngga nambah-nambah. Dan bahkan untuk penampilan, saya masih jauh dari penampilan islam yang sempurna. Jika saya terlihat baik-baik saja, pasti lah karena Allah yang senantiasa menutupi aib saya.
Tapi sebagai seorang ibu, saya wajib untuk selalu belajar. Terlebih-lebih setelah apa yang terjadi di 4 november kemarin. Ada PR besar yang sekarang ada di diri saya dan ibu-ibu lain. PR untuk mengembalikan Al-quran ke hati anak-anak kita, agar mereka nanti tumbuh besar sebagai manusia yang bangga dengan identitasnya, bangga dengan kemuslimannya. Bukan cuma hanya sekedar bangga, tapi juga memahami dan mengamalkannya sepenuh hati.
Sejujurnya saya sedih melihat teman-teman saya yang sepertinya begitu takut dianggap kurang kekinian jika dia membela agamanya sendiri. Kalau dianalogikan ya, ini tuh ibarat kaka-adik yang lagi berantem gara-gara si adik meledek kakaknya gini, " kamu tuh jangan mau bikin pr kak. Kamu dibohongi sama guru". Kemudian si kaka marah, tidak terima gurunya dianggap bohong, tapi anehnya yang disalahkan adalah si kaka. "Ayo lah ka, belajar lah toleransi sama adik sendiri". Alih alih mengajarkan adiknya bagaimana bicara yang baik, ini malah kaka yang dianggap terlalu sensitif. Dan jika sekarang si kaka menuntut adiknya untuk dihukum, tapi yang kemudian terjadi justru seakan-akan adiknya lah korban ketidak toleransi kaka nya.
Saya tidak diajarkan untuk toleransi beragama, yang ada adalah toleransi UMAT beragama. Kalau beragamanya itu sendiri adalah essential yang tidak bisa diganggu gugat. Tidak boleh ada yg mengolok-olok tentang ajaran agama saya. Begitu pun saya tidak akan mengomentari apapun yang diajarkan agama lain kepada umatnya.
Saya akan menolong tetangga saya meski dia beragama katolik. Saya akan menjenguk teman saya sakit walau dia beragama Hindu. Dan bahkan saya termasuk orang yang tidak setuju menyebut agama lain dengan sebutan Non Islam, sebut saja nama agamanya. Karena penyebutan kata 'non', seakan-akan hanya ada islam, dan yang lain tidak. Untuk urusan kehidupan dunia, saya akan sangat bertoleransi dengan umat lain. Tapi jika sudah berhubungan dengan akhirat, maaf kita sendiri-sendiri. Bahkan Nabi Muhammad pun tak bisa menolong pamannya yang kafir, Abu Tholib, seberapa pun besar beliau mencintai pamanya.
yang paling bikin sedih orang muslim tapi nyinyir2 aksi damai kemarin.. hiks padahal di dunia kita cuma numpang ya... masih bersyukur ada yg beraksi kemarin, kalau andaikata semua orang di indonesia pada diam saja siapa yang akan bela agama Allah ya.. ��
ReplyDeleteIya mba.. Sedih yaa
DeleteSaya juga sedih kalau ada sesama muslim yg nyinyir. Juga sedih karena timelin medsos isinya kebencian hiks
ReplyDeleteAstaga mbaak, kamu bijak banget..aku baca pelan pelan ..aku suka banget..cukup sulit menemukan orang yang bijak menyikapi masalah kemaren dengan kepaala dingin..thanks buat artikel ini..aku juga diingatkan utk ttp tepat waktu buat berdoa atau dikita saat teduh..makasih ya..*peluk
ReplyDeleteSemoga setelah ini kita makin baik dalam beragam dan hidup antar umat beragama :)
ReplyDelete