“ bu, itu anaknya pakai apa di kupingnya?”
Pertanyaan itu sering sekali
muncul ketika melihat alat yang yang dicantelkan
ke telinga shanaz. Alat bantu dengar Shanaz memang selalu terlihat mencolok di
kedua telinganya karena saya sering menguncir rambutnya. Shanaz itu tipe anak
yang gampang sekali mengeluarkan keringat, makanya saya sering sekali menguncir
rambutnya ke atas.Untuk sebagian orang (bahkan saya pun dulu begitu) tidak begitu familiar dengan alat bantu dengar. Bahkan tidak sedikit orangtua yang memiliki anak dengan gangguan pendengeran takut memakaikan anaknya alat bantu dengar. Takut telinganya tambah rusak katanya. Padahal ya alat bantu dengar itu penting untuk mereka yang mempunyai gangguan pendengaran.
Sama hal nya dengan orang yang memiliki masalah dengan penglihatan dan harus memakai kacamata, begitu pun dengan alat bantu dengar. Kacamata dan alat bantu dengar sama-sama alat yang bermanfaat untuk si penggunanya. Jadi jika kita tidak merasa aneh melihat orang lain menggunakan kacamata, please perlakukan hal yang sama untuk pengguna alat bantu dengar.
Beberapa waktu yang lalu saya
dijapri oleh seorang yang mengalami gangguan pendengaran. Dia sudah cukup
dewasa, umurnya belasan tahun (saya lupa tepatnya berapa). Dia baru saja
mengalami penurunan gangguan pendengaran dan disarankan memakai alat bantu
dengar. Tapi dia takut dan galau. Takut malah memperburuk kondisi telinganya.
Dan lebih dari itu dia takut dianggap aneh karena ada benda asing di
telinganya.
Mungkin karena stigma masyarakat
yang masih sangat asing dengan alat bantu dengar, jadi sangat lah wajar jika
dia merasa begitu tertekan ketika disarankan memakai alat bantu dengar. Coba
bandingkan jika ada seseorang yang disarankan memakai kacamata, saya yakin
tidak akan ada yang segalau itu.
Hal ini menjadi semacam morning call untuk saya yang dititipkan
amanah anak dengan gangguan pendengaran, yaitu kelak shanaz harus bangga dengan
keadaannya. Shanaz tidak harus menutup-nutupi keadaannya. Dia harus dengan
lantang dan bangga mengatakan kepada dunia, AKU TULI dan AKU BISA. Dan kalaupun
kelak dia memakai jilbab itu karena murni perintah agama bukan karena menutupi
keberadaan alat bantu dengarnya.
Memang benar saat ini saya sedang
berikhtiar sekuat hati dan tenaga untuk menyelamatkan verbal shanaz. Tapi
tujuan utama saya melakukan itu, BUKAN karena ingin mengubah dia menjadi anak
yang kata orang ‘normal’. Shanaz juga normal kok. Normal dengan caranya
sendiri. Shanaz akan tetap menjadi shanaz dengan segala kelebihan dan
kekurangannya. Dan yang paling penting tidak akan ada satu pun yang bisa
mengubah identitas shanaz.
Ikhtiar yang saya lakukan ini
karena sebagai orangtua saya wajib memfasilitasi anak saya semampu yang saya
bisa. Tanpa bermaksud mengecilkan kaka-kaka Tuli yang memilih menggunakan bisindo
(Bahasa Isyarat Indonesia), saya merasa Shanaz butuh bahasa verbal untuk
memudahkan dia berkomunikasi dengan semua khalayak.
Alat bantu dengar bukanlah satu
momok yang harus ditakutkan. Itu hanya sebuah alat. Alat yang memudahkan si
pengguna agar bisa mengakses suara lebih baik. Alat bantu dengar ini termasuk
di dalam implan koklea ataupun ABD (hearing aids) itu sendiri. Keduanya
memiliki fungsi yang sama, sama-sama membantu si pemakainya untuk mengakses
suaranya. Hanya cara kerjanya saja yang berbeda.
Shanaz dan Alat bantu dengarnya |
Selain alat bantu dengar, alat
bantu lainnya yang masih dianggap aneh oleh masyarakat umum adalah kursi roda
ataupun kruk. Saya jadi ingat kejadian beberapa waktu yang lalu saat saya
sedang di bandara hendak pulang ke pekanbaru karena baru saja selesai melakukan
therapy trip.
Baca : therapy trip untuk Shanaz
Saat itu saya sedang duduk di
kursi prioritas sambil menunggu jadwal boarding. Lalu tidak lama kemudian
muncul seorang laki-laki muda yang didorong dengan kursi roda ke arah kursi
prioritas yang saya duduki. Dia ‘diparkirkan’ tidak jauh dari saya duduk. Dan
sebelum petugasnya pergi, sang petugas menanyakan terlebih dahulu “sudah
boleh ditinggal disini, pak?”. “ ya
ya terserah “ katanya dengan nada sedikit ketus. Lalu sang petugas pun
meninggalkan laki-laki tersebut.
Sambil menunggu dia terlihat
sibuk bermain ponselnya dan saya berusaha sekuat tenaga untuk tidak melirik ke
arahnya. Kalau boleh jujur level kepo saya sudah super maksimal, penasaran
ingin tahu kenapa dia harus menggunakan kursi roda. Singkat cerita, karena sudah
waktunya boarding petugas pun datang
dan mengajak laki-laki tersebut masuk. Ternyata tujuan keberangkatan kita sama.
Dan bahkan dia duduk tepat di depan kursi saya.
Sebelum lepas landas tiba-tiba
dia berusaha bangun sambil memegang tempat penyimpanan barang (kabin) diatas.
Dengan sedikit tertatih dia sepertinya hendak mengambil tasnya. Mungkin ada
sesuatu yang tertinggal yang ingin diambilnya. Awalnya saya berusaha untuk
tidak melihatnya, tapi karena saya lihat dia sedikit kesulitan (dan orang-orang
sekitarnya mungkin tidak menyadari kalau dia tidak bisa berdiri) lalu saya
tawarkan diri, “mau dibantu?”. Dia
menggeleng dan tersenyum “ngga pa-pa”
katanya. Dan saya pun berusaha untuk
tidak memperhatikan gerak-geriknya lagi. lalu saat hendak duduk, dia bilang
“makasih ya”. saya hanya tersenyum tanpa menjawab.
Saya menyadari bahwa salah satu
cara menghargai mereka yang berkebutuhan khusus adalah dengan memperlakukan
sama dengan yang lain. Meski berniat baik tapi jika caranya salah tentu
akan menimbulkan kesan bahwa kita menganggap mereka lemah dan saya yakin tidak
ada satu orang pun yang nyaman dengan perasaan itu.
Dan yang tidak kalah penting
adalah mereka berhak melakukan apa saja tanpa harus ‘ditelanjangi’. Stop
melihat mereka seperti melihat Alien. Stop merasa aneh dan bingung dengan alat
bantunya. Jika penasaran lebih baik googling
saja, setidaknya mata kalian akan lebih fokus ke ponsel daripada ke orang
tersebut.
Mereka itu sudah berjuang sekuat
tenaga untuk menerima takdir mereka. Berusaha mengambil hikmah dengan keadaan
yang mereka harus jalani. Jadi please
buat lah dunia ini jadi sedikit saja lebih ramah untuk mereka. Sedikiiit saja. Tidak
usah lebih. Karena banyak sekali nikmat yang sudah kita dapat tapi mereka tidak
pernah merasakan itu. So once again please
be nice. Because they are just diferent able, not DISable.
Tulisan ini didedikasikan untuk semua kaka-kaka hebat di luar sana. Terimakasih sudah memberikan kami sebagai orangtua yang memiliki anak dengan kebutuhan khusus ini harapan dan semangat yang besar. Kalian penuh inspirasi.
Terharrruuu bacanya kaaaakk...
ReplyDeletepost more about this kakk...
Biar org2 pada sadar...
Dan juga. Doa terbaik utk anak kakak...
hug
iya memang susah banget ya untuk menahan diri, semoga semakin banyak yang bisa memahami dan saling menghargai
ReplyDelete