Beberapa waktu yang lalu dunia
sosial media lagi ramai dengan seorang ibu berinisial DW karena statusnya yang
menyinggung tentang anak berkebutuhan khusus. Tulisan ini sebenarnya bukan
ingin mengomentari tentang kasus tersebut. Toh kasus itu juga sudah dianggap
selesai dengan permintaan maaf langsung DW secara live. Justru kejadian ini membuat saya ingin berfikir mundur ke 13 bulan
yang lalu.
13 bulan yang lalu saat saya
pertama kali mengetahui shanaz mengalami gangguan pendengaran. Seperti disambar petir saya baru ngeh bahwa ternyata selama ini shanaz tidak mendengar apa-apa. Dan sejak
saat itu juga kehidupan saya tidak
pernah sama lagi. Fokus saya berubah, pola pikir saya berubah, bahkan lini masa
saya di sosial media pun ikut berubah.
Saya yakin tidak hanya saya,
pastilah teman-teman juga ingat tentang hari itu. Hari dimana rasanya dunia mau
runtuh. Hari dimana apapun yang ada didunia ini seakan tidak akan pernah membuat kita bahagia lagi. jika ada penobatan
hari terburuk mungkin hari itulah harinya.
Mendengar kabar bahwa anak kita
berbeda dengan anak lain bukanlah berita yang mudah dicerna. Saya bahkan saat
itu berkali-kali memastikan kalau saya sedang tidak bermimpi. Berkali-kali
menangis, berkali-kali itu juga saya menghapus air mata saya sendiri.
![]() |
foto ini diambil tepat hari pertama resmi menjadi ibu dengan anak berkebutuhan khusus. mata panda & kantong mata menceritakan segalanya. |
Keluarga, sahabat dan orang-orang
terdekat semua berusaha menghibur saya, tapi tetap kontrol ada di diri saya
sendiri. Saya lah yang memutuskan sendiri kapan air mata ini harus berhenti,
lalu bangkit dan beraksi. Karena saya sangat menyadari bersamaan dengan diagnosa
itu tentu Allah sudah menyiapkan sepaket
dengan stok kekuatan untuk saya.
Tidak ada yang bilang menjadi
orang tua dengan kebutuhan khusus itu adalah perjalanan mudah. Pasti lah
berbatu, berliku dan penuh anomaly. Tapi
selama kita yakin mobil yang kita kendarai dalam kondisi prima dan bahan bakarnya juga full tank, lalu apa yang harus
dikhawatirkan?
Apa yang dilakukan oleh ibu DW
tersebut ibaratnya hanyalah segelintir jalan berbatu yang harus kita lewati.
Tidak ada apa-apa nya dibandingkan dengan medan jalan lainnya di depan nanti.
Jadi ada baiknya jangan buang energi kita berlebihan. Kembali fokus dengan apa
yang mejadi sasaran utama kita saja.
Dan sebenarnya di dunia nyata ada
banyak sekali DW-DW lainnya. Yang mengernyitkan mata saat melihat alat yang
dipakai anak kita, yang tidak melepas pandangan saat melihat anak kita tantrum,
dan reaksi-reaksi lainnya yang mau tidak mau harus kita hadapi.
Biasanya kalau sudah begitu
selalu saya beri senyuman dan tanpa ditanya suka saya bilang sendiri “ anak
saya tidak bisa mendengar dan yang dipakai ini alat agar dia bisa mendengar”.
Ketika kita membuka diri justru malah jadi moment
yang tepat untuk meng-edukasi mereka tentang apa itu gangguan pendengaran.
Karena sebenarnya mereka hanya tidak tahu dan sebagai orang yang tahu kita
wajib memberitahukannya. As simple as
like that.
Tugas kita sebagai seorang ibu
dengan berkebutuhan khusus itu sudah banyak sekali. Apalagi jika anaknya lebih
dari satu. Karena secara umum tugas menjadi seorang ibu sudahlah berat, bahkan
lebih berat dari rindunya dilan. Jadi tidak ada faedahnya jika kita menambah-nambah kerjaan dengan memberi
‘pelajaran’ untuk orang-orang seperti ibu DW. Dia sudah cukup besar untuk
belajar sendiri.
Kalau ada orang diluar disana
yang tidak suka dengan anak kita, ya mau dibilang apa? Itu hak mereka. Sama
seperti kita yang juga kadang tidak suka dengan si A, B, C atau D sah-sah saja
toh. Masalah ketidaksukaan ini diungkapkan atau tidak itu hanya tergantung seberapa persen kadar
muatan otak masing-masing saja.
Kejadian ini harusnya membuat
kita sadar untuk menambah daftar baru
dalam hal-hal yang harus diajarkan untuk anak kita, yaitu belajar mengabaikan
yang tidak penting untuk dipikirkan. Ajarkan mereka apa saja yang harus fokus
dan apa saja yang boleh dianggap kentut. Sedikit berbau tapi anggap angin lalu
saja.
Karena kelak mereka sendiri lah
yang harus menanggapi reaksi-reaksi seperti ini. Mereka sendiri yang harus
menjelaskan tentang identitas mereka kepada dunia. Harus kita sadari bahwa mereka
tidak selamanya akan diperlukan dengan baik. Dan siapa yang bisa menjamin
bahwa kita juga akan selamanya ada
disamping mereka?
Jika hari ini kita sedih saat
banyak sekolah menolak mereka, bayangkan jika nanti besar mereka sendiri yang
menerima penolakan tersebut? Jika hari ini kita marah karena ada yang menghina
mereka, maka kira-kira akan semarah apa mereka ketika ada orang yang menyinggung
tentang kondisi mereka yan sedikit berbeda dengan yang lain?
Jadi yuk sebagai orangtua kita harus pastikan
anak-anak kita sudah dibekali ‘ransum’ yang lebih dari cukup. Karena
bagaimanapun juga mereka lah pemeran utamanya. Mereka lah yan mengukir cerita
mereka sendiri. Simpan energimu para orangtua hebat. Simpan untuk hal-hal yang
bermanfaat. Mari kita sama-sama belajar untuk tidak terusik dengan urusan receh. Kerikil doang mah lewat, ya ga sih?;-D
Mbak Fernaaaaa.. Terima kasih udah menulis perjalanan Shanaaz. Saya belajar banyak dari Mbak, masih tertatih dan belajar mendongakkan kepala.
ReplyDeleteSama-sama mba ku.. Kita saling belajar yaa
DeleteTerharu banget bunda, suka banget sama tulisan ini.
ReplyDeleteNoted banget dengan pernyataan ini: "Masalah ketidaksukaan ini diungkapkan atau tidak itu hanya tergantung seberapa persen kadar muatan otak masing-masing saja."
Edukasi yang dibalut dengan ngobrol santai justru bisa memperluas kadar muatan otak masing-masing.
Betapa besar hati orang tua yang bisa menyikapi amanah-Nya dengan rasa syukur yang tak terkira apapun kondisi mereka. Karena begitu banyak diantara kita yang masih mengingkarinya. Menganggapny aib dan bahkan petaka.
ReplyDeleteMasya Allah...Mbak Ferna, saya yakin Allah memang menyiapkan Shahnaz untuk Mbak dan suami yang pastinya dinilai mampu bagi-Nya..
Semoga selalu sehat dan kuat bersama menghadapi kerikil, belokan dan tikungan yang ada di depan nanti...Aamiin
Semoga selalu semangat y mba terkadang tidak semua orang bisa memahaminya karena punya rasa yang berbeda-beda
ReplyDeletesll sehat untuk mb dan keluarga aamiin
saya salut dengan orangtua yang mendapat amanah yang dianggap berbeda dari anak-anak lain. Itu artinya Allah percaya. Sebenarnya saya akan baik-baik saja ketika ada orang yang menatap lama si kecil yang lagi tantrum, karena ada beberapa orang yang berniatmengambil ngambil pelajaran. Yang meresahkan ini para penyinyir.
ReplyDeletesaya suka kalimat ini "Tidak ada faedahnya jika kita menambah-nambah kerjaan dengan memberi ‘pelajaran’ untuk orang-orang seperti ibu DW. Dia sudah cukup besar untuk belajar sendiri"
Iya bun bener. Di luar sana banyak kerikil-kerikil kecil. Lewat saja ya. Salan buat anaknya Bun ��
ReplyDelete