Tidak pernah terpikir sebelumnya
kalau saya menjadi praktisi homeschooling
(selanjutnya akan disebut sekolah rumah) untuk anak-anak saya sendiri. Saya
sering kagum dengan mereka yang melakukan praktik ini. Tapi hanya sebatas
kagum. Karena saya tidak yakin bisa menjalaninya sendiri.
Yang saya tahu menjadi praktisi
rumah sekolah butuh konsistensi yang tinggi. Dan kalau ada orang yang sangat
in-konsisten, itu lah saya. Say tipe hot-hot poop chicken. Nge-gas diawal, tapi
ujung-ujungnya bosan dan tidak dijamah lagi.
Ketidak-konsisten saya terparah
sampai ke level saat memberikan MPASI pada anak saya dari yang rajin banget
mengolah berbagai macam resep sampai ke tahap tidak memberikan makan anak
seharian saking malasnya ke dapur. Untung saat itu Alhamdulillah ASI saya berlimpah jadi setidaknya anak saya
tidak mati kelaparan ;-p
Jadi yaah kalau boleh jujur saya
‘tercemplung’ di dunia ini karena the
power of kepepet. Sudah pernah saya ceritakan di blogpost sebelumnya
tentang ini.
Tapi sampai hari ini sedikit pun
saya tidak merasa menyesal dengan keputusan yang saya dan suami ambil untuk
anak-anak. Entah kalau nanti ya. Saya belum pernah melihat mereka begitu
bahagia dengan proses belajar. Potensi yang tadinya tertutupi dengan segala
macam PR dan ujian ini itu dari sekolah, pelan-pelan mulai muncul ke permukaan.
Siapa yang sangka Danesh yang
tidak bisa diam dan punya motorik halus yang tak terlalu bagus, tapi ternyata
sangat tertarik dengan memasak. Dia melatih motorik halusnya dengan memotong
sayuran saat membuat sayur sop. Dia melatih kesabaran dan diam di tempat saat
menggoreng tempe. Dan disaat bersamaan dia belajar konsekuensi yang apabila
tempenya ditinggal dan telat dibalik, maka tempenya akan hangus.
![]() |
Danesh lagi menggoreng tempe |
Indira yang sebenarnya sudah
ketebak si otak kiri, yang sangat literatur sekali. Dia sangat suka membaca dan
menulis. Dan dia bisa belajar menulis dimana saja, termasuk dalam caption instagramnya. Saya membiarkan
dia mengekspresikan tulisannya disana. Karena saya percaya pelan tapi pasti
tulisannya akan memiliki ‘nyawa’nya tersendiri.
Mungkin ini lah yang orang-orang
(termasuk saya dulu) salah kaprah tentang sekolah rumah. Mereka pikir sekolah
rumah artinya memindahkan sekolah dengan berbagai macam atributnya ke dalam
rumah. How come?
Makanya tidak heran ketika
memberitahukan orang-orang bahwa anak-anak kami akan sekolah rumah, maka
komentar yang bermunculan adalah: “ waaah sulit itu. Butuh konsisten tinggi.
Bahkan si A aja yang sudah S2 di luar negeri ga bisa lho sekolah rumah anak-anaknya”. Atau komentar lainnya
seperti “ nanti ngajarinnya bagaimana?
Anak-anak mah susah pasti kalau diajarkan orang tua sendiri,
pasti ngeyel. Giliran diajarin
gurunya, nurut.”. dan komentar-komentar miring lainnya.
First of all, yang pertama harus dipahami adalah sekolah rumah
tidaklah sesulit yang dibayangkan. Gimana caranya? gampang, yaa jangan
dibayangkan hal-hal yang sulit.
Dan lagi siapa yang suruh sih memindahkan
sekolah ke dalam rumah? Yaa ga muat lah. Pun sebenarnya secara konteks sekolah dan rumah adalah 2 hal yang berbeda.
Sekolah adalah tempat belajar massal yang
menghasilkan produk massal juga. Sedangkan rumah adalah tempat belajar personal yang sangat disesuaikan dengan
si pemilik rumah itu sendiri.
Ibarat membuat baju, yang satu produksi
pabrik, dan yang satu lagi produksi rumahan. Toh sama-sama menghasilkan baju, tapi dengan cara yang berbeda.
Soal kualitas dan rasa, itu kembali ke bagaimana selera masing-masing saja.
Lalu apakah menjalani sekolah
rumah artinya tidak akan ada hambatan sama sekali? Hwooo jangan tanya,
hambatannya ada dan banyak sekali. But hey
its called life, rite? Kalau tidak ada hambatan bukan hidup dong namanya.
Dan disini lah kita belajar memecahkan masalah bersama-sama.
Di sekolah, ketika si anak
bermasalah, maka yang akan membahas
masalah tersebut adalah orangtua dan guru di dalam suatu ruangan. Si anak
menunggu diluar, pasrah menantikan apapun keputusan yang (mungkin) terbaik yang
diambil orang dewasa untuknya.
Dan ini berbeda dengan di sekolah rumah, apapun masalahnya kita duduk
bersama, saling berbicara dan mendengarkan sampai menemukan akar
permasalahannya, dan kemudian berakhir dengan mencari solusi terbaik bersama.
Kunci sukses sekolah rumah
sebenarnya hanya ada satu, yaitu tidak pernah berhenti belajar. Dan itu berlaku
untuk semua penghuni di rumah. Ayah, bunda, anak-anak, kakek-nenek (jika
berada di rumahnya yang sama) pokoknya
semua lah. Yang harus diingat adalah belajar bisa dimana saja dan kapan saja.
Saya dan suami saya sepakat kami
menyebut sekolah anak-anak tak beratap dan tak berdinding. Karena jauh lebih
penting mereka tak ‘bersekolah’ tapi belajar, daripada (mengaku) bersekolah
tapi tak pernah belajar.
p.s. sebenarnya saya tidak punya
terget khusus untuk anak-anak dalam sekolah rumah ini, tapi jika harus memilih
maka ada 2 target utama yang muncul, yaitu yang pertama anak-anak tumbuh dan
berkembang sesuai potensi masing-masing, dan kedua berat badan saya turun
karena 24/7 bertemu dengan mereka terus. Percaya lah mereka tidak selalu selucu
seperti di feed instagram saya ;-p.
![]() |
can u feel how happy they are? |
![]() |
Belajar dimana saja |
![]() |
karena ibu adalah madrasah pertama untuk setiap anaknya |
![]() |
membuat percobaan sains di rumah |
Aduhhh photo2nyaaaa juaraaa mbaa. Tetep semangat ya jadi parents sekaligus teachers buat anak2nya. Kisses from Riau ❤
ReplyDeleteThank u sayaang. Kisses from here too
DeleteHallo mb ferna.salam kenal. Senang baca posting ini krn saya lg tahap galau utk HS dan kegalauannya passs bener tertangkap di sini. Yakni soal konsistensiiiii...tfs ya mbak.
ReplyDeleteAlhamdulillah kalau tulisan sy bermanfaat untuk yg lain..
DeleteAsyik juga ya mbak, jadi makin dekat dengan anak. Luar biasa si Danesh sudah bisa menggoreng tempe. Aku dulu sebesar itu masih minta disupain Mak. hehehe.
ReplyDeletehahahaha.. eranya beda ya..
Deleteaku punya teman yg anaknya home schooling kayak mba... dia ngajarin anaknya macem2 sendiri dan anaknya pinter banget! Salut aku sama ibu yang kayak mba & temen aku itu karena ngajarin anak untuk home schooling itu menurut aku butuh kreativitas tinggi, aku sampe pengen nitipin raya di rumah temenku biar belajar sama anaknya bareng, sayang rumahnya jauh banget :D
ReplyDeletesini raya titip sama aku saja sini. hihihihi
DeleteHai mba Ferna, tulisannya bisa buat bekal kelak untuk anakku nanti.
ReplyDeletePilihan yang tidak mudah, tapi harus KONSISTEN sampai level teratas.
Semangat mba ^^
hi mba junita.. senangnya jika tulisan saya bermanfaat
Delete