Mendengar adalah kebutuhan yang
paling luhur dalam diri manusia. Ketika seseorang tidak bisa melihat, namun dia
masih bisa meraba dan mendengar maka informasi akan tetap sampai ke orang
tersebut. Namun jika seseorang tidak mendengar, meski dia sudah melihat benda
tersebut, tetap dia tidak pernah tahu nama benda tersebut apa. Itu lah kenapa
akhirnya muncul terapi AVT ini.
Terapi AVT atau Audio verbal therapy adalah sebuah
terapi yang sangat dianjurkan untuk anak dengan gangguan pendengaran terutama
di usia dini. Sasaran utama dari terapi ini bukanlah si anak, melainkan
orangtuanya. Kenapa? Karena anak dan terapis hanya bersama selama kurang lebih
satu jam, paling lama 2 jam, selebihnya 23 jam lagi anak bersama orangtua di
rumah. Jadi para orangtua sangat disarankan untuk mempunyai bekal yang cukup
tentang ilmu AVT ini.
Banyak yang bertanya dengan saya
bagaimana sih proses terapi AVT ini? Prosesnya sederhana sebenarnya, sama
seperti bermain biasa dengan anak, hanya bedanya disertai pendekatan-pendekatan
tertentu yang memudahkan si anak menyerap informasi secara optimal dengan
menggunakan fungsi mendengarnya.
Dan di tulisan kali ini saya
ingin berbagi tentang beberapa pendekatan strategi AVT yang sering saya pakai
saat bermain dengan Shanaz di rumah.
Oh ya sebelumnya saya ingin beritahu
dulu bahwa tulisan ini dari perspektif saya sebagai orangtua dan saya bukan
pelaku AVT profesional. Jika ingin berkonsultasi lebih lanjut maka akan dengan
senang hati saya berikan rekomendasi kemana harus bertanya.
Tujuan dari tulisan ini adalah
murni hanya ingin berbagi. Karena saya tahu di luar sana masih banyak sekali
orang yang sulit mendapat akses untuk terapi AVT ini. Semoga apa yang saya
tulis disini bisa membantu walau hanya sedikit. Bismillah..
Dan berikut 5 strategi AVT yang
sering dilakukan Shanaz di rumah, yaitu :
1. Listening
first
Otak manusia
bekerja secara plastis, jadi ketika salah satu syaraf tidak berfungsi maka akan
dengan segera diambil alih oleh syaraf yang lain.
Secara anatomi,
posisi syaraf pendengaran berdekatan dengan syaraf visual. Ini lah kenapa untuk
anak-anak dengan gangguan pendengaran, mereka selalu unggul dibagian visual.
Semakin lama dia
di-intervensi dengan alat, maka semakin banyak syaraf pendengarannya diisi oleh
visual. Jika sudah begitu akan lebih besar usaha yang dilakukan untuk membuat
si anak menggunakan kembali pendengarannya.
Meski sudah
menggunakan alat, anak biasanya hanya tahu jika itu ada suara, tapi mereka
belum punya konsep mendengar. Dan itu lah fungsi utama AVT, melatih si anak
memahami konsep mendengar.
Dalam
artikel-artikel berbahasa inggris yang saya baca, disana dikatakan they can hear, but they not listening yet.
Nah saya sedikit kesulitan mengartikannya dalam bahasa indonesia, karena jika
diartikan keduanya sama-sama bermakna mendengarkan. Jadi dalam tulisan ini mari
kita sepakati, untung hearing akan saya tulis ‘mendengar’ (dengan tanda kutip) dan
untuk listening akan saya tulis mendengar (tanpa tanda kutip).
Dalam strategi listening first, yang jika diartikan
dalam bahasa Indonesia maka makna nya adalah mendengar terlebih dahulu, maka
sangat disarankan sebelum menunjukkan benda atau gambarnya, selalu meminta
mereka untuk mendengar dahulu.
Contoh jika
ingin menunjukkan gambar gajah, maka yang bisa dilakukan sebutkan kata gajah
dulu baru tunjukkan gambarnya. Karena jika dilakukan berbarengan (apalagi jika
menunjukkan gambar terlebih dahulu) bisa dipastikan si anak hanya menggunakan
visualnya tanpa mendengar bahwa itu gajah.
Tentu yang kita
harapkan adalah si anak mendengar dan mendapatkan informasi bahwa itu adalah
gajah, bukan sekedar hanya melihat saja. Maka jika disimpulkan teknik ini
adalah hal dasar dan cukup krusial yang wajib dikuasai ketika berkomunikasi
dengan anak-anak dengan gangguan pendengaran.
2. Sandwich
Auditory
Kemudian pertanyaan
yang muncul adalah apakah artinya anak-anak yang sedang terapi AVT diharamkan
menggunakan visual sama sekali? Tentu saja tidak begitu.
Jika kita sedang
mengajarkan kognisi ataupun pemahaman kepada si anak, sebenarnya tidak apa kok
mengunakan semua indera, termasuk indera penglihatan (visual) didalamnya. Dan strategi
sandwich auditory adalah yang paling
sering saya gunakan saat mengajarkan hal yang baru ke shanaz.
Rumusnya adalah :
audiotory – visual – auditory. Ini sebenarnya diadaptasi dari konsep roti lapis
atau sandwich, dimana artinya adalah pertama kita menggunakan pendengarannya,
lalu tunjukkan bendanya, dan kembali
menggunakan pendengarannya lagi.
Anak-anak yang
murni hanya gangguan pendengaran (tanpa gangguan penyerta lainnya) biasanya
punya kognisi yang cukup baik. Bahkan tak jarang kognisi mereka bisa melebihi
dari umur seharusnya. Jadi jangan ragu untuk terus mengenalkan hal baru kepada
si anak ya. Meski dia tidak (atau belum) merespon bukan berarti dia tak paham
lho.
3. Auditory
closure
Teknik auditory closure juga termasuk teknik yang sering saya lakukan ke shanaz. Sebenarnya
bisa dikatakan banyak hal-hal yang sederhana yang sering kita lakukan dengan menggunakan
teknik ini, hanya kita saja tidak menyadarinya.
Contoh saat
bermain cilukba dengan si anak. Berkali-kali kita mengatakan cilukba ke anak, lalu kemudian satu kali kita
menyebutnya “ci luuuk” dan si anak menjawabnya “ba”. Itu lah auditory
closure.
Atau contoh lain,
saat kita bermain dengan anak dan memulai dengan berhitung, “yuk shanaz lempar
bola ini. Hitung ya. Satu... dua...” lalu si anak menjawab “(ti)ga”. Lagi-lagi
kita sudah menggunakan teknik auditory
closure disini.
Jika tahapannya sudah lebih lanjut, maka bisa
dicoba juga dengan lagu. Misalnya nyanyikan sebuah lagu kesukaannya, lalu
hilangkan satu kata dan biarkan si anak yang melengkapinya. Posisi lirik yang
dihilangkan tidak selalu harus terakhir sih, bisa ditengah juga.
Tapi tentu kita
fokuskan ke bagian yang paling mudah dan familiar dulu dengan si anak, karena kalau belum apa-apa sudah diberi yang susah (apalagi disalahkan) lama-lama si anak bisa ngambek dan tidak mau bermain lagi sama
kita.
Kalau shanaz
sendiri biasanya paling senang kalau dinyanyikan lagu cicak di dinding, lalu
sampai ke lirik “datang seekor nyamuk”, dan kemudian saya diam, setelah itu
biasanya dia pasti jawab “hap” sambil senyum lebar nan menggemaskan. Yes, mission accomplishedJ
4.
Sabotase
Sejujurnya saya
sedikit lupa nama strategi ini apa, tapi mari kita mengarang bebas dan sebut
saja sabotase ya ;-p. Tapi tenang, untuk teknik yang dipakai insya Allah cukup
akurat kok. Teknik ini sangat membantu untuk anak-anak yang mulai sok gede
kayak Shanaz dan tidak mau dites.
Saat ini shanaz
sudah bisa mengimitasi ke 6 suara ling dengan cukup baik. Hanya saja dia
sering malas ketika disuruh melakukan suara ling. Mungkin kalau dia sudah bisa ngeyel, dia akan bilang “ apa sih disuruh itu-itu melulu. Aku kan
sudah bisa tauk”. Padahal kan suara ling kan cukup penting ya peranannya
(nanti kapan-kapan akan saya bahas tentang ini ya).
Nah untuk
mengakalinya kita bisa menggunakan strategi ini. Biasanya saya melakukannya
saat dia menginginkan sesuatu, contoh dia mau makan atau mau nonton youtube, “ooo shanaz mau nonton, ok, shanaz dengar
dulu” sambil tunjuk ke telinga dan langsung melakukan 6 suara ling. Percaya
lah itu jurus yang cukup ampuh untuk dia mengeluarkan suaranya.
Contoh lain
misalnya buat anak yang sudah lebih besar dan senang bermain sepeda. Kita bisa
melakukan trik dengan mengunci sepeda nya dan meletakkan kuncinya diatas. Lalu saat
dia meminta sepedanya, minta dia mengeluarkan suaranya misalnya “mau” atau “buka”
baru kemudian kita membuka sepedanya.
Atau bisa juga
untuk anak yang suka mewarnai dengan melakukan sabotase pensil warnanya
(dipatahkan ujungnya misalnya), lalu kita ketika dia ingin pensil warnanya
diraut, maka minta dia mengeluarkan suaranya dulu baru kemudian diraut. Kan kalau
ada 12 pensil warna, lumayan tuh ada 12 kata yang kita suruh keluarkan.
Jadi inti
sabotase ini adalah sesuaikan dengan kesukaan masing-masing si anak. Karena ketika
si anak menyukai atau menginginkan sesuatu, akan sangat mudah untuk kita
memintanya mengeluarkan suaranya.
5. Thinking
at same place
Menurut sebuah
penelitian anak-anak dengan gangguan pendengaran harus diajak bicara minimal
1500 kata per jam. Itu semua dilakukan untuk mengejar umur biologis dan umur
pendengarannya.
Dengan kata lain
maksudnya adalah kita harus siap menjadi radio komentator untuk si anak. Apa pun
yang sedang dilakukan atau dilihat, harus selalu dibahasakan.
Nah masalahnya
saya juga termasuk yang sering kecele
disini terutama ketika sedang membacakan buku untuk Shanaz. Acap kali yang sedang
dilihat si anak tidak sinkron dengan apa yang kita bahasakan.
Contoh saat saya
sedang membacakan buku untuk shanaz, saya sedang menceritakan tentang beruang
yang sedang makan madu, tapi ternyata shanaz sedang melihat gambar matahari
yang juga ada di halaman tersebut. Meski berkali-kali saya menyebut kata
beruang, maka informasinya tidak akan masuk ke shanaz karena saat itu ternyata
dia sedang melihat gambar matahari.
Jadi memang kita
harus jeli melihat mata si anak sedang tertuju kemana, lalu kemudian kita
bahasakan atau bicarakan hal tersebut. Dan itu lah yang disebut strategi thinking at same place atau berpikir
ditempat yang sama.
Sebenarnya kalau
dijabari lagi ada banyak sekali strategi AVT, tapi karena sekali saya tegaskan
bahwa porsi saya disini bukan lah profesional,
maka saya rasa 5 strategi itu akan sangat membantu jika benar-benar diterapkan
di rumah.
Saya tidak
bilang saya sudah sukses dalam menyelematkan verbal Shanaz, saat ini PR shanaz
masih banyak, yang harus saya kejar pun tidak bisa dibilang sedikit. Tapi tentu
ketika sudah berusaha semaksimal mungkin dan menikmati setiap prosesnya, maka
urusan hasil biarlah diserahkan kepada Sang pemilik kehidupan. Karena toh
selalu percaya hasil tidak akan pernah menghianati usaha, ya kan?
No comments:
Post a Comment